Bagaimana Anak Bisa Menjadi Radikal?

Ilustrasi pexel.com

OPINI, HALOJABAR.COM-  Sistem pembelajaran sosial terdekat dari seorang anak bersumber orang tua atau keluarganya, maka menjadi pertanyaan besar bagaimana seorang anak bisa terbesit untuk melakukan aksi jihad (bom bunuh diri) agar mati syahid.

Vici Sofianna Putera

Seyogyanya tugas perkembangan anak usia 7-13 tahun adalah dunia “bermain” dengan teman sebayanya. Fenomena anak yang siap mati syahid menjadi fenomena yang unik yang bisa dibahas melalui berbagai perspektif keilmuan, diantaranya psikologi, sosiologi, lingusitik, dll.

Penelitian dari Sikken et al (2017) mengatakan bahwa terdapat dua peluang seorang anak memiliki pemahaman yang radikal, yaitu direct influence dan indirect influence dalam radikalisasi terhadap anak.

Direct parental Influence

Secara umum, transmisi ideologi dari orang tua ke anak (antar generasi) pasti terjadi, seperti yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun terkait praktek rasisme dan prasangka.

Dalam kasus radikalisme, orang-orang yang radikal membagikan pandangan radikal dari orang tua mereka (Duriez & Soenens, 2009; Gielen, 2008; Van Donselaar, 2005).

Penelitian dari penelitian Van Donselaar (2005) menemukan bahwa kaum muda sering kali mendapatkan perasaan anti-imigran yang berasal dari orang tua mereka.

Dalam konteks Islam, Asal, Fair dan Shellman (2008) menyatakan bahwa keluarga memainkan peran penting dalam perekrutan para jihadis.

Anak muda sering bergabung dengan geng, aliran sesat dan kelompok ekstremis karena mereka memiliki anggota keluarga atau teman yang sudah menjadi anggota kelompok tersebut (Hafez & Mullins, 2015). Bakker (2006), McCauley dan Moskalenko (2010), dan Sageman (2004) menunjukkan bahwa afiliasi sosial memainkan peran dalam perekrutan kelompok jihad karena seseorang lebih mudah untuk meradikalisasi jika teman dekat atau anggota keluarga sebelumnya telah bergabung dengan kelompok teroris.

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari HaloJabar di Google News