HALOJABAR.COM- Regulasi terkait wajibnya mengikuti kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi para calon jamaah umrah dan haji khusus, nyatanya menuai banyak kritik.
Pasalnya, jamaah menilai bahwa regulasi ini dinilai terlalu mempersulit calon jamaah umrah maupun haji yang ingin menunaikan ibadah ke tanah suci.
Perlu diketahui, Kementerian Agama telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1456 Tahun 2022 tentang Persyaratan Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Penyelenggaraan Umrah dan Haji Khusus.
Dimana setiap calon jamaah umrah maupun haji khusus harus mengikuti kepesertaan JKN yang kini tengah dicanangkan pemerintah pusat.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), Nur Arifin mengatakan, aturan ini sudah sesuai dengan arahan pemerintah pusat terkait program Jaminan Kesehatan Nasional, yakni Instruksi Presiden (Inpres Nomor 1/2022).
Namun pihaknya memahami jika aturan tersebut mungkin saja sulit diterima oleh calon jamaah maupun para pelaku Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
“Persyaratan tambahan bagi calon jamaah umrah dan haji khusus agar menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan adalah dalam rangka menyukseskan Program JKN. Manfaatnya adalah apabila jamaah sakit, maka kesehatannya bisa dijamin oleh BPJS Kesehatan,” terang Nur Arifin, Senin (9/1/2023).
“Berbagai layanan masyarakat lainnya juga mempersyaratkan kepesertaan BPJS Kesehatan (sesuai Inpres No 1/2022 tidak hanya Kementerian Agama yang mendapatkan tugas pelaksanaan). Maka kami mengajak semua pihak, khususnya calon jamaah maupun para pelaku PPIU dan PIHK untuk memahami kebijakan ini serta menaatinya,” tukas Nur Arifin.
Ia pun menegaskan, bahwa Kemenag tidak pernah memiliki niat sedikitpun untuk menyulitkan kegiatan umrah dan haji khusus. Justru sebaliknya, Kemenag tidak tinggal diam untuk mewujudkan kemudahan dalam penyelenggaraan umrah dan haji khusus.
Ia mencontohkan, pada tahun 2020 ketika era pandemi, berkat diplomasi Kemenag, Indonesia akhirnya diizinkan menunaikan umrah dengan syarat mampu menunjukkan dokumen resmi negatif Covid-19.
“Tapi Februari 2021 ada kasus sebanyak 125 jamaah umrah menunjukkan dokumen palsu. Dinyatakan negatif Covid-19 tapi ternyata positif, dan memakai dokumen bodong, tanpa ada proses pemeriksaan. Kemudian Arab Saudi kecewa dan umrah ditutup lagi,” jelas Nur Arifin.
Kemudian PPIU meminta Kemenag untuk kembali melakukan diplomasi kepada Saudi. Aspirasi tersebut dijalankan berkali-kali, namun pihak Arab Saudi sudah terlajur kecewa lantaran dibohongi.
“Akhirnya Saudi menetapkan 3 RS yang ditunjuk untuk memeriksa negatif Covid-19. Kita turuti dan kita buat kebijakan umrah satu pintu melalui Asrama Haji Pondok Gede. Alhamdulillah mulai 23 Desember 2021 ada pemberangkatan Tim Advance. Dan mulai 8 Januari 2022 hingga saat ini, umrah dari Indonesia diperbolehkan,” papar Nur Arifin.
“Yang jelas kami Kemenag terus berjuang untuk PPIU dan PIHK, yang tentunya berdampak langsung terhadap jamaah umrah dan haji Indonesia. Perbedaan boleh saja, tapi itu harus untuk saling menguatkan. Jangan malah saling melemahkan,” pungkas Nur Arifin.
Sementara itu, asosiasi Himpunan Penyelenggara Umrah dah Haji (Himpuh) berharap agar seluruh komponen pelaksana Inpres dan KMA tersebut dapat memastikan implementasinya berjalan baik di lapangan, dan tidak memberatkan jamaah, apalagi bila sampai menghambat serta menggagalkan keberangkatan.
Himpuh juga berharap sinergitas yang baik antar pelaku usaha dan regulator sehingga terjalin komunikasi konstruktif. Suara para jamaah dan para pelaku usaha perlu didengar, agar lahir sebuah keputusan terbaik. ***